Tugas Membuat Cerpen, Cerita Teenlit Pilihan
Penulis : Nur Padilah
PILIHAN
Sangat membosankan, ocehan bu Imel sedari tadi di depan kelas membuatku mengantuk. Mataku sampai berkaca-kaca karena terus terusan menguap. Aku menggelengkan kepala pelan, tak sanggup lagi dengan banyak tulisan di papan tulis.
Mata ini lalu melirik angka di benda persegi tangan kiriku. ini gila, bisikku sembari menghela napas berat. Tiba-tiba saja aku merasa lapar, cacing-cacing di dalam sana terus meraung meminta makan. Haruskah ku tunggu satu jam lagi?
Aishh! Wajahku memerah menahan kesal. Kertas yang diremuk hingga berbentuk bulat itu berhasil mengenai pipiku. Aku menoleh ke arah belakang. Di sana, manusia dengan jenis kelamin laki-laki tertawa mengejek.
"Apa?!" bisikku dengan penuh penekanan.
Zevan tersenyum sembari mengedikkan bahunya.
"Awas yak lu!" kataku sambil mengahadap kembali ke depan setelah memberi Zevan peringatan.
Ku tatap kertas bulat yang terletak di lantai bawah meja. Mataku berbinar, menemukan sesuatu yang sedang ku inginkan saat ini. Alam semesta memang mendukung. Tak jadilah ku ambil kertas itu.
Dengan pelan, berharap tak bersuara tanganku membuka plastik berisi roti selai isi kismis tersebut.
"Kau mau?" tanyaku pada Liz, teman sebangku-ku. Dia menggelengkan kepala. Aku hanya basa basi, lagipula Liz lah yang memberikan roti ini pagi tadi.
Satu gigitan sudah berhasil masuk ke dalam mulutku. Ah, bu Imel memang mengganggu, hanya untuk makan saja aku harus mengunyah pelan-pelan.
"Bu Imel bakal ngamuk kalau dia tau, Jan," bisik Liz pelan. Aku mengabaikannya.
"Bu!"
Buru-buru aku mengurungkan niat untuk gigitan kedua.
Merasa dipanggil, bu Imel menoleh. "Ada apa, Zevan?"
"Janna bu, makan di kelas." Semua murid sontak menatap ku bersamaan.
Mataku membulat sempurna, aku gugup. Langkah bu Imel terdengar menakutkan di telinga. Berjemur, menyikat wc, atau bahkan Ayah akan dipanggil. habislah aku!
"Janna!" Suara lantang bu Imel terdengar.
"Maaf, bu. Maaf. Janna lapar." Aku mengatupkan kedua tangan dengan wajah meminta belas kasih.
"Keluar dari jam pelajaran ibu! Bersihkan wc sampai selesai!"
"Iya, bu. Janna permisi."
Langkahku terasa lebih cepat untuk keluar kelas, takut bu Imel tambah marah. Aku menatap datar lelaki yang membuatku harus menyikat wc, benar-benar menyebalkan.
.
Setelah bersusah payah di dalam wc, kini rasanya aku dapat menghirup udara bebas. Sebotol air mineral yang habis ku beli dari kantin tadi ku teguk sampai tak bersisa. Ku remas kuat botol plastik tersebut. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin meninju lengan Zevan.
"Nai, Zevan mana?" tanyaku pada Naina—teman sekelasku.
"Itu," kata Naina menunjuk ke arah lapangan. Ada tawa kecil yang ditunjukkan Naina ketika pergi.
Aku berusaha menahan tawa detik itu juga. Kaki kiri terangkat dengan tangan kanan hormat kepada tiang bendera, wajah lelaki di depan sana terlihat lucu menurutku.
"Hahahaha." Tawaku meledak menggelegar. Zevan yang tengah menunduk akibat terik matahari mendongak saat mendengar tawa seseorang. Bukan wajah kesal yang ku dapatkan, melainkan wajah girang yang tak bersalah.
"Rasa lu!" teriakku, sedangkan Zevan hanya tersenyum sembari memainkan alisnya.
.
Wajah Zevan terlihat pasrah saat menceritakan bagaimana ia bisa sampai di hukum.
Sekali lagi tawaku meledak.
"Lagian lu sih pake segala tidur!" cetusku.
"Ya 'kan ngantuk, salah bu Imel ngomong panjang lebar tapi nggak masuk di otak," ucap Zevan sembari menepuk pelan kepalanya.
Aku lantas berdiri, berjalan pelan dia area koridor sekolah. Sementara Zevan membuntuti dari belakang.
"Jan," panggil Zevan.
Aku menoleh ke belakang dengan raut wajah bingung.
"Lu pendek, jelek!"
Mendengar perkataannya aku lantas mengangguk pasrah. Sudah biasa kudapatkan, jika tidak berkata pendek atau jelek, dia juga akan berkata, "Janna, dasar jomblo karatan!"
Ya, tapi memang benar. Aku menatap tajam Zevan setelahnya, tidak bisakah dia sehari saja tidak mengata-ngataiku?
"Sini lu!" Aku berteriak keras, lantas mengejarnya.
"Sini nggak lu!" Zevan sudah berlari dengan kencang di depan sana.
"Zevan!" teriakku beberapa kali, pasalnya aku benar-benar tidak bisa mengimbangi larinya yang terbilang cepat.
Aku berlari sekuat tenaga, sedangkan Zevan di depan sana tengah berhenti sembari mengatur napas. Sepersekian detik kemudian terdengar suara ringisan saat badan kami saling berbenturan.
"Kena lu!" kataku. Masih dengan posisi terduduk, aku berusaha menyikut pinggang Zevan. Di saat yang bersamaan pula tanganku secara cepat menangkap handphone milik Zevan yang ingin jatuh.
"Sakit. Janna sakit!"
"Sakit ... Aw!"
Tiga kali sudah rasanya aku menjitak kepala Zevan dengan tanganku. "Pembalasan," ucapku setelah mengakhiri jitakan terakhir.
"Aduh," kata Zevan pelan, tetapi aku masih bisa mendengarnya. Lelaki itu masih meringis akibat rasa sakit di kepala.
"Balikin," kata Zevan lagi.
"Apa?"
"Hp."
"Oh, ini?" Aku mengangkat handphone milik Zevan ke udara.
Dia mengangguk.
Zevan masih sibuk memijat-mijat pelan kepalanya. Sedangkan aku menggunakan kesempatan itu untuk melihat isi gawai Zevan.
Aku tertegun. Pasalnya foto diriku yang di ambil Zevan secara diam-diam terpampang jelas di layar depan gawai. Aku terlihat begitu jelek.
Tanganku kembali dengan lihai membuka isi galeri Zevan. Untung saja dia termasuk orang yang tidak suka ribet, jadi tidak ada sandi pada ponselnya.
Dua puluh persen isi galerinya adalah foto idolanya yaitu salah satu pemain sepak bola, dan sisanya lagi adalah foto diriku. Di lihat dari berbagai foto, aku bisa menebak dia sering sekali mengambil gambar yang ku upload di sosial media.
Aplikasi yang terakhir ku buka secara buru-buru adalah whatsApp. Selain pesan sesama teman sekumpulannya, aku tertegun melihat pesan Zevan yang dikirim ke nomornya sendiri.
Kami sama-sama diam ketika handphone berhasil kembali ke pemiliknya. Tidak sempat ku baca dengan jelas, yang pasti lelaki di hadapanku ini berkali-kali ingin menyatakan cintanya tetapi tidak bisa.
Sorot mata Zevan terlihat serius. Baru kali ini aku melihat dia seserius itu.
"Jan, karena lu sudah baca, gimana, lu mau 'kan?"
Tak bisa dipungkiri memang. Aku mati-matian menahan senyum. "Mau apa?"
"Jadi pacarku!" sambung Zevan cepat.
Senyum ini tidak bisa lagi ku kendalikan. Memang benar, tidak ada yang namanya laki-laki dan perempuan bersahabat, salah satunya pasti menyimpan rasa, atau bahkan keduanya.
Aku berbalik badan meninggalkan Zevan. Bel telah berbunyi menandakan jam istirahat telah selesai.
"Janna!" Aku berhenti dan menoleh ke belakang.
"Janna, please!" Ku rasakan ada sebuah tangan yang perlahan menggenggam tanganku.
"Jawab sekarang. Aku sudah siap mendengar jawaban darimu, apapun itu."
Aku menggelengkan kepala.
"Apa maksudnya itu?" tanyanya.
Ku lihat ekspresi tak biasa dari Zevan. Aku mengenalnya sejak kecil, aku tahu ekspresi apa itu. Hanya saja dia berusaha untuk menyembunyikannya.
"Kita berteman sejak kecil, lalu untuk apa kau menaruh rasa?"
Zevan tertegun untuk sesaat. "Aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku."
"Kita bertemu dan bersama. Aku merasa nyaman, lalu muncul-lah perasaanku ini," sambung Zevan.
Aku juga tidak akan berbohong pada diriku sendiri. Setiap kali kami bersama, ada getaran untuk perasaanku. Getaran itu rasanya semakin hebat ketika Zevan kembali memberikan perhatian kecil. Aku menyukainya. Tetapi, berusaha keras ku tepis perasaan itu.
"Aku menolakmu!" tegasku. Netra kami bertemu.
Aku mungkin akan menyesalinya suatu hari nanti. Tetapi ini ku lakukan demi hubungan lama yang telah kami bangun berdua.
Jika ada jalinan kekasih diantara kami, lalu ada kata putus. Hubungan kami akan berhenti di situ juga. Tidak ada lagi pertemanan, kekasih, setelahnya akan asing selamanya.
"Aku tidak ingin merusak hubungan pertemanan kita," jelasku pada Zevan.
"Aku mengerti."
Empat menit berlalu, dan aku sudah menyesali perkataanku.
"Tutup matamu," ujar Zevan. Lelaki itu tersenyum tulus.
Aku menurutinya, lalu mulai menutup mata.
"Janna, tolong tetap menjadi orang yang ku kenal. Lupakan hal ini. Anggap tidak pernah terjadi," pintanya.
Masih dengan mata tertutup aku mengangguk.
"Jangan dulu buka matamu. Aku akan pergi dari sini terlebih dahulu. Kita akan bertemu kembali di kelas seolah tak pernah terjadi apapun."
Waktu terus berjalan. Aku tahu bahwa sudah tidak ada lagi Zevan di hadapanku. Perlahan ku buka mata, ku tarik kuat-kuat napasku.
Aku berjalan menuju kelas. Entah kenapa aku merasa takut. Apa yang akan ku katakan kepada Zevan nanti?
"Janna, tenanglah. Anggap ini tidak pernah terjadi," kataku meyakinkan diri.
Di depan sana, lelaki yang telah ku kenal bertahun-tahun, khas dirinya saat duduk. Menopang kaki kanan ke atas paha, lalu mengunyah permen karet.
"ZEVAN!" teriakku. Tak peduli dengan tatapan teman-teman di kelas.
Zevan menatapku dengan senyum jail.
"Gara-gara lu yah, gua harus nyikat wc!"
"Rasa lu!" kataku lagi setelah memukul kuat lengan Zevan.
"Janna, aw ... Sakit!" keluh Zevan.
Kami saling menatap, lalu tertawa. Aku lega.
Yah, ini pilihan ku. Meski kenyataannya ada rasa sesak yang hinggap ketika melihat tawa lepas dari Zevan.
Meskipun belum mahir, saya sangat suka menulis. Karena bagi saya, sebuah karya akan selalu hidup bahkan saat penulisnya telah tiada.
Komentar
Posting Komentar